Thursday, February 24, 2022

                                                                 Kami Berduka




Pagi ini aku sedang berada didalam kelas, menjalankan tugas harianku. Mendidik anak bangsa, calon pemimpin masa depan. Generasi penerus ketika kita sudah tak lagi mampu berkarya untuk mereka bahkan ketika kita tak lagi hadir di dunia ini. Untuk menjadi seorang pemimpin di masa depan haruslah dipersiapkan anak2 yang kita hadapi sekarang akan hidup pada zaman yang berbeda di masa yang akan datang. Mereka tentu tidak dapat mengadopsi semua ilmu dan pengetahuan yang kita miliki saat ini untuk hidupdan menghadapi zaman yang mereka hadapi kelak. Namun satu hal yang tidak dapat di tinggalkan dan tidak akan lekang di makan zaman. Bekal itu adalah  karakter dan akhlak mulia serta keimanan. Ketiga hal tersebut menjadi hal yang sangat di butuhkan dalam menghadapi  segala zaman di manapun berada. Sebagai penguat ketika lemah, sebagai pertahanan ketika menghadapi cobaan yang berat, dan sebagai jati diri ketika mengahdapi gerusan  demoralisasi idiologi dan kepribadian.

Namun apa yang kulihat pagi ini adalah sebagian siswa hampir kehilangan jati diri mereka sebagai seorang pelajar yang harusnya belajar dan mengerjakan tugas. Hatiku sedih sekali, mereka tidak lagi memperdulaikan tugas yang harus mereka kerjakan, kecuali beberapa. Mereka lebih peduli pada gadget yang mereka miliki. Padahal tugas itu hanya empat buah soal berupa gambar yang di narasikan menjadi empat kalimat pasif. Aku telah mengajarkannya sedemikian rupa dan 'friendly', namun mereka pun tak paham dan peduli. Padahal bilapun mereka membuat kesalahan maka kita akan bisa menarik benang merah darinya dan menemukan kalimat yang benar.

Ditengah kesedihanku, seorang teman tiba-tiba  mengirim pesan di whatshapp dan bernada mengeluh dan seperti menangis seolah curhat. Sontak aku meraihnya padahal aku tak biasa buka HP ketika mengajar kecuali mau ingin menyalakan data seluler supaya laptopku terhubung internet untuk mengajar. Namun karna aku sedang menuggu siswa bekerja maka aku melakukannya. Teman ku yang satu ini memang suka begitu,ia sangat percaya untuk mengutarakan isi hatinya kepadaku bila ada hal-hal di luar dirinya yang mengusik. Alhamdulillah aku masih di percaya untuk menampung dan menerima keluhannya. Tak sembarang  orang bisa di jadikan tempat mengeluh dan meluapkan rasa hati yang bergejolak. Tugas berat ya, he he...😅 

Namun aku bingung mengapa ia tetiba mengeluh dan menangis, kemudian aku bertanya hal apa gerangan yang membuat ibu bersedih, ia lalu menjawab akan mengirimkan sebuah berita. Tak lama kemudian terdengan beberapa dentingan terdengar pertanda pesan yang masuk bertubi-tubi. 

Aku  segera membukanya. Mataku terbelalak  oleh gambar pertama yang di sajikan, gambar telapak kaki yang di beri label. Artinya itu mayat, berita duka. Aku yang sedang sedih semakin lemas, ada apa ini. lalu kulanjutkan membuka  pesan lainnya,sebuah judul berita 'seorang guru tewas di tangan 2 orang siswa'. Aku tak ingin membaca beritanya. Kulanjutkan dengan melihat gambar saja, yang mudah dan ringkas. Ternyata ia adalah poster seorang guru/ustad yang bagus wajahnya, penuh keimanan lengkap dengan nama dan berita bahwa is telah meninggal dunia. 

Lututku bergetar. Kupandang isiswa yang sibuk dengan bukunya dan kasak kusuk dengan temannya entah apa yang di bicarakannya.  Aduhai anak-anakku, calon penerus bangsa, betapa teganya engkau kepada orang yang telah membimbing dan mengajarimu banyak hal. Engkau tak menghiraukannya pun dosamu telah besar. Bagaimana mungkin engkau tega menyakiti fisiknya dan apalagi membunuhnya. Dimana akal sehatmu? Dimana hati nuranimu?  Dimana rasa hormat dan terimaksihmu? Siapa yang mendidikmu demikian?

Kesedihanku, kemarahanku, kebencianku bercampur aduk menjadi satu. Tapi aku tak ingin melampiaskan semua itu pada siswa-siswa yang menyebalkan saat itu di hadapanku. Aku keluar kelas dan menelpon seorang teman yang juga salah satu dari guru dan bagian dari yayasan tersebut untuk mengetahui berita secara detil dan akurat. Aku memencet nomor tertentu dan terdengar sambutan salam di seberang sana degan suara lemas hampir tak terdengar hingga aku harus menyapanya dan mengulangi pertanyaanku agar aku bisa mendengar dengan jelas kalimat-kalimatnya. Mungkin ia masih shock, berduka dan sedih bukan kepalang. Lalu temankupun menuturkan dengan pelan namun sudah lebih jelas kali ini. 

Benar saja, telah tewas seorang guru atau ustaz kemarin pukul 8.00 pagi. Saat itu menjelang subuh, seperti biasa seorang guru atau pembina kesiswaan pada sebuah lembaga pendidikan menengah atas di sebuah pesantren bertugas membangunkan para siswa untuk melakukan sholat subuh. Lalu didapatinya dua orang siswa yang sedang bermain hp. Mungkin siswa tersebut menolak ajakan dan perintahnya untuk segera bersiap melakukan sholat subuh, maka hp merekapun disita untuk sementara. Tentu maksudnya baik, mendisiplikan mereka untuk sholat subuh berjamaah. Dan setelah itu tentu hp akan di kembalikan. Sholat subuh pun berlangsung.

Namun setelah sholat subuh usai, tiba-tiba saja ustadz tersebut di temukan terkapar bersimbah darah di atas jalan cor di dekat tembok pesantren tersebut. Sang ustadz segera  di bawa kerumah sakit namun nyawanya tak tertolong dan beliaupun menghembuskan nafas terakhirnya. 

Mendengar keterangan seorang teman dari telepon diseberang sana, hatiku hancur, kakiku lemas di pakai melangkah. Tak lama kemudian bel berbunyi dan akupun menutup pelajaran dengan mengatakan menuggu tugas mereka yang belum selesai kantor dan aku pamit.

Tibadi kantor aku langsung disibukkan dengan acara ceremony kecil dari teman yang telah menikahkan anaknya beberapa waktu lalu. bertemu dengan teman yang tadi curhat di hp dan benar-benar ia mengeluarkan air matanya begitu bertemu denganku. Namun kami langsung membaur dengan teman-teman lain dan suasana hati sementara ku tutup dan akan kulanjutkan di lain waktu.

Trimaksih sudah mau membaca.

Samarinda, 24 Februari 2022

 


1 comment:

  1. Sesuai permintaan ibu, saya hanya menyoroti "cara penulisan".

    Dari tulisan ibu, jelas terlihat ibu jarang membaca buku. Yang kedua, jangan menulis dalam keadaan emosional. Sebab akan terjadi kekeliruan dalam penulisan (typo) maupun alurnya.

    ReplyDelete